Senin, 11 November 2013

Makna di Balik Pengambilan Shot Video



ditulis Oleh Diki Umbara

Melalui unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami secara utuh (Barthes, 1998:172-173).



Saya setuju dengan tesis yang dikemukanan ahli semiotika dunia Roland Barthes di atas, namun pada tulisan saya kali ini justru akan lebih banyak melihat dari makna pertama utamanya unsur visual (gambar) yakni makna denotatif. Penulis akan mencoba bagaimana makna-makna verbal itu dihasilkan dari sisi praktisi, si pembuat pesan ( sinematografer, videografer, filmmaker, videomaker, broadcaster). Secara spesifik penulis akan mengurai ada makna apa di balik sebuah shot. Ketika kita menonton sebuah film atau tayangan televisi, sebenarnya kita sedang menyaksikan rangkaian shot dalam sebuah scene, dan rangkaian scene dalam sebuah sequence, dan seterusnya hingga kita melihat tayangan atau film secara utuh. Disadari atau tidak disadari sebenarnya penonton telah disuguhi ratusan bahkan ribuan shot yang muncul silih berganti di layar televisi setiap harinya.

Pasti ada pesan yang ingin disampaikan oleh si pembuat dalam menciptakan rangkaian shot-shot tadi, sayangnya tidak semua pesan bisa disampaikan dengan baik dan celakanya hal ini karena ”kesalahan” dari si pembuat pesan. Shot semestinya tidak semata urusan teknis mekanis dan estetis,menyampaikan pesan akan ”berurusan” dengan falsafah, the philosophy of the shot. Wah serumit itukah? mari kita pahami sampai tuntas.

Belum ada kesepakatan tentang definisi yang benar-benar pas tentang apa itu sebenarnya shot. Ketika kita menekan tombol rec atau start sampai kita tekan sekali lagi tombol yang sama, maka itu adalah satu shot. Walaupun hanya satu detik atau bahkan sampai satu jam dari awal sampai akhir, baik bergerak maupun diam.



SHOT SIZE/Type of Shot

Shot size/type of shot atau ukuran shot adalah besar kecilnya subjek dalam sebuah frame.Type of shot itu terdiri atas :

    ECU : Extreme Close Up (detail shot)
    VCU : Very Close Up (shot wajah) dari atas kepala sampai dagu
    BCU : Big Close Up (tight CU, full kepala), wajah memenuhi layar
    CU : Close Up, dari keapala sampai pundak
    MCU : Medium Close Up,
    Knee, 3/4Shot :
    MLS : Medium Long Shot
    LS : Long Shot
    ELS : Extra Long Shot (extereme LS, XLS)

Masing-masing ukuran shot di atas akan memiliki makna yang berbeda-beda ketika diimplementasikan pada pengambilan sebuah gambar/shooting.

Long Shots, secara umum penggunaan shot jauh ini akan dilakukan jika :

    Untuk mengikuti area yang lebar atau ketika adegan berjalan cepat
    Ketika subjek
    Untuk menunjukkan dimana adegan berada/menujukkan tempat
    Untuk menujukkan progres
    Untuk menjukkan bagaimana posisi subjek memiliki hubungan dengan yang lain

Medium Shots, type shot seperti ini yang paling umum kita jumpai dalam film maupun televisi. Jenis shot ini adalah paling aman, karena tidak ada penekanan khusus seperti halnya pada Long Shots dan Close Shots. Semua adegan bisa ditampilkan dengan netral di sini.

Close Shots, televisi adalah media close up. Awalnya premis ini karena berkaitan dengan hal teknis. Pertama, acara dengan media televisi harus ditampilkan secara close up karena ukuran televisi yang kecil jika dibandingkan dengan layar di bioskop. Ke dua, berbeda juga dengan bisokop, acara televisi ditonton sambil lalu, akan lebih cocok menampilkan gambar-gambar dengan close shot/padat.

Tapi,yang perlu dipahami juga justru makna-makna yang ditampilkan ketika shot-shot itu dibuat secara close up. Efek close up biasanya, akan terkesan gambar lebih cepat, mendominasi, menekan. Ada makna estestis, ada juga makna psikologis.

MOVEMENT

Terdapat paradoks dalam menciptakan camera movement untuk menghasilkan perubahan visual ketika mencoba membuat invisible movement. Secara teknis hal ini dimaksudkan untuk menghindari bergesernya perhatian penonton. Caranya adalah dengan melakukan pergerakkan kamera yang mengikuti pergerakkan subjek. Tapi yang harus diperhatikan tentu saja adalah tujuan atau motivasi dari pergerakkan kamera itu dibuat. Secara umum, menurut Peter Ward dalam Digital Video Camerawork, motivasi itu antara lain :

    Untuk menambah interest visual
    Mengekresikan kegembiraan
    Meningkatkan ketegangan
    Memberikan interes pada subjek baru
    Memberikan perubahan angle/sudut pandang.

Secara khusus, ada dua kaidah dalam mengontrol camera movement, yakni menyesuaikan gerakkan dengan aksi subjek sehingga gerakan kamera akan distimulasi oleh aksi dan yang kedua adanya kebutuhan untuk menjaga komposisi yang baik selama pergerakkan.

Hampir di keseluruhan shot yang ditampilkan dalam film Emergency Room atau E.R. menggunakan konsep ini, dengan demikian efek dramatis tercipta sehingga penonton akan merasakan bagaimana suasana yang sangat dinamis di setiap ruang rumah sakit. Demikian juga di beberapa filmnya Rudy Soedjarwo, walaupun menurut saya masih terasa nanggung. Jadi, apa sebenarnya motivasi Rudy membuat film dengan konsep handheld tersebut ?



ANGLE

Secara mekanis, angle atau sudut pengambilan gambar itu berhubungan erat dengan lensa kamera, baik jenis lensa yang digunakan maupun penempatan kamera itu sendiri. Masih menurut Ward, ruang internal shot sering menonjolkan kualitas emosional dari adegan. Perspektif yang normal untuk membangun shot sering digunakan secara gamblang dan langsung. Tinggi lensa akan mengendalikan bagaimana penonton mengidentifikasi subyek. Lensa rendah akan mengurangi detail level latar belakang dan menghilangkan indikasi antara latar belakang dengan objek. Posisi lensa yang tinggi memiliki efek sebaliknya.

Low Angle

Pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah dari objek akan mengakibatkan objek lebih superior, dominan, menekan.



High Angle

Kebalikan dari low angle, akan mengakibatkan dampak sebaliknya, objek akan terlihat imperior, tertekan

Dengan mengetahui dampak pesan yang akan tersampaikan dari sudut pengambilan gambar ini, diharapan sinematografer atau videografer bisa mengkonstruksi shot-shot yang akan dibuat sesuai dengan pesan apa yang ingin kita sampaikan pada penonton.

Satu sekuens yang sama akan dimaknai berbeda ketika pemlihan angle shot yan berbeda pula. Misalnya adegan demontrasi mahasiswa, rangkaian petama : 1.long shot para demontrans, 2. high angle demonstran teriak-teriak, 3. low angle polisi sedang menggebuki demonstran. 4. high angle demontran kesakitan, sedangkan rangkain ke dua : 1.long shot para demontrans, 2. low angle demonstran teriak-teriak, 3. high angle polisi sedang menggebuki demonstran. 4. low angle demontran.Dalam sekuens pertama, penonton akan memaknai rangkaian shot tersebut bahwa ada demontrasi yang dilakukan mahasiswa, polisi dengan superioritasnya bisa menangani aksi demontrasi itu dengan sikap represif, mahasiswa teretekan. Sedangkan dalam rangkain shot pada sekuens ke dua, penonton akan melihat demontrasi yang dilakukan mahasiswa walapun dijaga oleh para polisi, mahasiswa terlihat superior dan mendominasi bahkan lebih gagah dari para polisi.

Ya, ini baru satu aspek saja yakni dari angle atau sudut pengambilan gambar bisa mengahsilkan efek yang berbeda pada penonton. Jadi, angle menjadi elemen makna atau pesan. Pesan apa yang ingin disampaikan pemberi pesan ?



Secara detail, Ward mengemukan bahwa sudut lensa mana yang dipilih tergantung dari tujuan shot, yang terdiri atas :

    Menonjolkan subyek prinsip
    Menyediakan variasi ukuran shot
    Memberikan kelebihan tambahan terhadap subyek yang dipilih
    Menyediakan perubahan sudut atau ukuran shot untuk memungkinkan terjadinya inter cutting yang tidak menonjol
    Menciptakan komposisi shot yang baik
    Meningkatkan arah mata

Sabtu, 16 Februari 2013

Antara harga dan kualitas

Apabila telah beberapa kali menggunakan jasa video syuting, calon konsumen tentu tidak akan berfikir lama saat menentukan jasa video syuting yang sesuai dengan kebutuhan. Namun apabila calon konsumen belum pernah menggunakan jasa video shooting atau mencoba layanan baru dalam mendokumentasikan peristiwa maka mungkin tulisan ini dapat dijadikan panduan.
Harga dan kualitas menjadi hal yang tidak terpisahkan bagi konsumen. Apabila memungkinkan maka konsumen memilih video shooting dengan harga yang murah namun dengan kualitas bagus. Sebagai perumpamaan, apakah mungkin membeli rumah dengan kualitas real estate dengan harga KPR? atau membeli mobil kualitas Eropa dengan harga Jepang ?
Sama saat ketika calon konsumen akan membeli rumah atau mobil, maka yang perlu dicermati adalah mengenali produk yang akan dibeli. Sebelum menghubungi penyedia jasa video shooting, tidak salahnya konsumen mengenali kualitas kamera yang umumnya digunakan dalam video shooting. Untuk kualitas menengah biasanya penyedia jasa video shooting menggunakan kamera Sony DSR PD 177 atau Sony HVR HD1000P, sedangkan untuk kualitas tinggi penyedia jasa video shooting umumnya menggunakan kamera kualitas full HD seperti Canon EOS 5D atau Sony PMW Ex3. Sedangkan untuk mengetahui kualitas gambar masing-masing kamera, konsumen dapat melihatnya melalui Youtube. Jadi manakah pilihan anda, apakah harga atau kualitas ? (@dianindrakencan)

Antara Nick Woodman, Go Pro dan Bali.

Mungkin tak banyak orang yang mengenal saat mendengar nama Nick Woodman, tapi ketika mendengar nama Go Pro maka rasanya sudah tak asing lagi. Padahal Go Pro lahir dari ide Nick Woodman.
Sebelum menjadi miliuner seperti sekarang, warga negara Amerika Serikat ini sempat menghabiskan waktu untuk berwisata di Bali selama lima bulan. Ide membuat kamera Go Pro tercetus saat para peselancar kesulitan mengambil gambar saat melakukan surfing.

     Kamera yang diikatkan pada tangan atau papan seluncur selalu terlepas sebelum dimulainya aksi.

Dalam kesulitan selalu terselip kemudahan. Ungkapan inilah yang akhirnya jadi ide Nick Woodman untuk memborong ratusan ikat pinggang yang terbuat dari kulit kerang di Bali. Saat membeli hanya seharga 1.90 dollar AS atau sekitar Rp.19.000,- setelah tiba di Amerika Nick Woodman menjual kembali di pantai California seharga 60 dollar AS atau senilai Rp.600.000,- 
Hasil uang penjualan ikat pinggang buatan Bali serta ditambah pinjaman 35 ribu dollar AS dari ibu, membuat Nick Woodman mewujudkan idenya membuat tali ikat kamera.
Keberhasilan Woodman dimulai pada tahun 2004 saat perusahaan Jepang membeli 100 kamera Go Pro di pameran perdagangan olahraga petualangan, hingga akhirnya  Nick Woodman sendiri yang mendesain kamera serta peralatan tambahan lainnya. Para atlet seperti atlet surfer, terjun payung dan balap mobil tak kesulitan mengabadikan aksi mereka sendiri.


Para pengguna GoPro yang berbagi pengalaman melalui internet mempercepat pemasaran kamera unik ini. Sekarang kamera Go Pro dijual seharga 300 dollar AS atau sekitar 3 juta rupiah. Perusahannya telah memperkerjakan 150 orang. Perusahaan teknologi Foxconn telah membeli 8.88% saham perusahaan Go Pro  bernilai 200 juta dollar AS. Kini Nick Woodman  memiliki kekayaan setidaknya 1.15 miliar dollar AS. (@dianindrakencan)

Siapkah anda untuk menjadi Citizen Journalism

Citizen journalism atau jurnalisme warga merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam merekam dan melaporkan peristiwa yang ditemui. Mudahnya masyarakat dalam merangkum dan melaporkan suatu peristiwa tidak lepas dari semakin mudahnya dalam menggunakan alat yang dapat mendokumentasikan peristiwa.
Apabila dahulu dalam merekam suatu moment diperlukan kamera profesional dalam mengabadikan, maka kini dengan kamera sekelas telepon selular maka peristiwa yang berada didepan mata langsung berada dalam genggaman. Media sosial juga mempercepat penyebaran laporan yang diberikan oleh warga, seperti melalui facebook, twitter dan youtube. Bahkan tak jarang gambar yang dimiliki oleh masyarakat lebih dramatis dibandingkan milik journalist.
Peristiwa tsunami tahun 2004 di Aceh dapat dikatakan sebagai peristiwa besar yang menggambarkan kekuatan citizen journalism. Gambar maupun video amatir tsunami yang terlihat sanggup mengalahkan gambar profesional para jurnalis. Video bom bali dua tahun 2002 yang terekam oleh wisatawan Australia bahkan menjadi petunjuk untuk menemukan pelaku. Peristiwa banjir Jakarta yang terjadi pada tahun 2013 juga banyak direkam oleh para warga, terutama video amatir peristiwa masuknya air bah ke dalam lantai basement gedung UOB Jakarta Pusat digunakan hampir seluruh televisi untuk menggambarkan betapa dahsyatnya air yang merenggut beberapa korban jiwa tersebut. (@dianindrakencan)

jika anda membutuhkan jasa dokumentasi video baik seminar, perusahaan, proses produksi dan lain hubungi kami 08155526781

Sabtu, 02 Februari 2013

Syuting Video dengan Tracking Shot

Anda ingin syuting dengan Tracking Shot? tapi tidak ada Dolly Track, tidak punya Steady Cam, atau tidak menyewa Jimmy Jib? Jangan kuatir, dalam produksi yang minimalis anda masih tetap bisa mempunya Tracking Shot yang bagus dan sesuai dengan konsep produksi. Bagaimana? ada empat teknik manual yang bisa digunakan kapan saja, yaitu:

1. Hand Held Tracking Shot


Dengan kamera handheld dimana blocking kamera diletakkan sejajar dengan objek, ada dapat berjalan mengikuti objek. Jangan lupa switch menu ke steady shot, lalu berjalanlah sesuai dengan pergerakan objek. Cobalah dengan beberapa angle, low hingga high angles.

2. Chair Track

Kalau anda sedang syuting diruangan dengan lantai yang rata, anda bisa menggunakan kursi sebagai dolly track. Caranya, carilah kursi yang mempunyai roda. Lalu "adjust" lah posisi kursi sesuai dengan frame dari objek. Dan duduklah dikursi tersebut, lalu minta bantuan teman atau asisten untuk mendorong maju atau mundur kursi sesuai dengan keinginan anda.

3. Car Track

Carilah mobil dengan model Hatcback,lalu bukalah bagian belakang garasi mobil. Anda tinggal duduk dan syuting, lalu teman atau asisten anda akan duduk dikursi stir dan menjalankan mobil. Bisa juga dengan mobil sedan, buka jendela dan letakkan kamera diantara kaca jendela mobil. Jalankan mobil anda dan silahkan syuting.

4. Any Wheel Track

Carilah apa saja yang mempunyai roda seperti Becak, Gerobak, Motor, Sepeda hingga ke mainan mobil-mobilan anak-anak yang menggunakan baterei.

Untuk jasa pembuatan video profile, editing film, syuting video berbagai event silahkan  kontak kami indra Hubungi sms/ call Indra 08155526781, 081908199208 (KVP Kerja Video Profesional Jakarta), Jasa layanan Dokumentasi Video Shooting Profesional standar Broadcast wilayah Jakarta, Bogor, Depok, tangerang  dan Bekasi

Just tips.

Selamat Mencoba

Salam

dianIndra

Jumat, 25 Januari 2013

Tips Menulis berita di TV

Syuting sudah selesei. Wawancara nara-sumber sudah lengkap. Footages sudah sangat banyak. Nah, sekarang bagaimana kita memulai menulis script? Apakah teknik menulis script untuk feature atau dokumenter pendek sama dengan news atau reality tv? Jawabannya, tidak sama tetapi anda bisa menggunakan teknik penulisan yang sama, yaitu: The Three Act Play atau The Three Act Structure. Tiga struktur penulisan ini diambil dari teknik pembuatan Story Telling untuk drama, teater dan film.

Ketiga teknik ini sangat mudah untuk diingat, apalagi teknik ini sudah digunakan sejak ratusan tahun lalu, jaman kerajaan Romawi yang banyak menghasilkan karya-karya sastra monolog, yang masih abadi sepanjang masa. Three Act Play adalah: 

1. Introduction 
Seringjuga dikenal sebagai Set-Up. Ini adalah segment atau sesi pengantar dari sebuah cerita. Mulai dari pengenalan topik, nama-nama subjek, lokasi, korban, dan lain-lain. Penyajiannya bisa bermacam-macam. Seperti dengan gambar (Shot), bisa menggunakan beauty shot, detail shot, wide shots hingga bird eye view. Bisa juga dengan running text atau Vox-Pop dari berbagai sumber yang pro dan kontra. Atau bisa juga dengan teknik Cliff Hanger, anda menyimpan topik yang sebenarnya hingga di akhir cerita menjadi "surprise".

2. Explanation 
Dalam website Wikipedia.org disebut sebagai Confrontation. Bagi saya, agak terlalu ekstrim kalau segment atau sesi ini disebut sebagai tempat untuk saling mendebat sesuai dengan misinya conforntation. Mungkin yang paling tepat adalah segment Explanation, yaitu tempat dimana anda akan menceritakan kejadian, keindahan, perdebatan, kajian, atau apa saja sesuai dengan introduksi sebelumnya. Penyajian, terserah dengan kreatifitas format anda. Anda bisa menyajikan dengan story telling yang konservatif, kaku dan membosankan. Atau anda bisa berkreatifitas menjelaskan isi cerita. 

3. Solution or Summary (or not)
Sekali lagi, dalam website Wikipedia.org, segment ini disebut dengan the resolution. Sekali lagi bagi saya, ini agak sedikit ekstrim walaupun boleh-boleh saja, terutama bila ingin menyajikan cerita untuk Hard News, maka Resolution menjadi penting. Sementara, kalau anda ingin fokus kepada non-news, maka anda bisa menggunakan segment ini sebagai Solution. Atau Summary alias kesimpulan. Tapi istilah di segment ini tidak wajib dan baku. Sifatnya lentur saja, anda bisa hanya menyimpulkan cerita atau mencoba memberikan solusi bila ada. Kalau tidak ada solusi, itu juga ok. Buat saja menjadi Cliff Hanger, sehingga penonton semakin penasaran pada akhir cerita.

Ketiga "act" atau "structure" ini sudah menjadi tradisi dalam dunia penulisan naskah. Selebihnya, anda bebas berkreatifitas. Mulailah dengan kata-kata yang mencerminkan hati dan pikiran anda.

Semoga bermanfaat. 

Nara

Rabu, 23 Januari 2013

Tiga teknik saat anda melakukan interview untuk acara atau reportase televisi

Tiga teknik saat anda melakukan interview atau wawancara untuk acara atau reportase televisi:

1. Always Listen
Selalu dengarkan dengan penuh perhatian pada jawaban dari nara-sumber. Konsentrasikan dan simpulkan topik-topik utama yang dapat menjadi bahan pembicaraan sambil mengkaji arah pertanyaan yang dapat mewakili suara penonton.

2. Eye Direction
Jangan pernah anda tinggalkan arah pandang mata anda dari narasumber, bila ada distraction atau gangguan dai belakang narasumber atau sisi lain, usahakan tetap berada dalam arah pandang yang sama, ini akan membantu perbincangan menjadi lebih interaktif dimana narasumber akan merasa dihargai pendapatnya. Boleh sesekali melirik ke cue card atau catatan tapi tidak boleh lebin dari 5 detik.

3. Avoid unnecessary reaction talk
Hindari reaksi percakapan yang mengungkapkan perasaan anda misalnya "yaya..." atau "benar sekali ya..." atau "Mmmmm..." dsb. Bila anda ingin merespon, sebaiknya hanya dengan manganggukkan kepala sudah cukup. Ini juga akan memudahkan anda pada saat post editing, sehingga anda tidak harus kesulitan melakukan editing suara.

Semoga bermanfaat (NRTM)

Selasa, 22 Januari 2013

Tips Jurnalis Video: Audio pada Comcorder

Salah satu kelemahan dari penggunaan kamera camcorder yang bukan profesional adalah pada rekaman audio dari narasumber. Built-in audio yang ada di Handphone, Ipad, Camera pocket (Flip Camera) dan camera video camcorder, dibuat untuk merekam ambience sehingga tidak ada koneksi audio untuk kabel XLR. Hasilnya adalah "pick up sound" dimanapun anda berada. Jadi, anda tidak akan pernah bisa mendapatkan rekaman audio yang bagus untuk wawancara anda. Nah bagaimana anda mengatasi hal ini? berikut tipsnya:

1. Bila membeli Camcorder, carilah kamera yang mempunyai koneksi input kabel RCA. Sehingga anda bisa menyambungkannya dengan XLR Cable, Microphone Cable, XLR Male to 6.35 Mono plug cable. Anda bisa menambungkan kamera dengan Dynamic Microphone untuk wawancara (bisa dengan reporter memegang mic), atau Condenser Mic, yang bisa berfungsi sebagai Shot Gun, sehingga suara dapat terekam lebih jernih sesuai dengan arah kamera.
2. Dekati Nara Sumber. Bila sedang mewawancara atau ingin mendapatkan fokus suara dari objek tertentu, dekatkan saja kamera anda sedekat mungkin dengan objek. Untuk menghindari gambar yang Extreme Shot, gunakan Wide Lens agar gambar terlihat lebih normal.
3. Rekam terpisah. Nah, ini memerlukan sedikit kerja keras karena suara direkam terpisah dengan menggunakan Digital Audio Tape Recording, setelah itu anda baru me"lip sync" dengan memadukan antara suara dan gambar pada saat post-editing.

Tips diatas ini adalah teknik terbaik, minimal anda mempunyai sound yang lebih bagus....

untuk jasa vidoe hubungi kami.

Sabtu, 19 Januari 2013

Pelatihan Video Journalism

Video Journalism, atau biasa dikenal sebagai Backpack Journalism adalah perkembangan generasi baru dari PhotoJournalism. Perbedaannya, kalau Photojournalism lebih mengandalkan kekuatan momen dan estetika dalam bentuk single frame, maka Video journalism menyajikan kekuatan momen dalam rekaman gambar video atau digital video dalam bentuk 24frame/detik (bahkan lebih) ditambah audio atau nat-sound dari momen tersebut. 

Untuk menjadi seorang Video Journalist, maka diperlukan pengetahuan skill produksi video mulai riset, script, syuting hingga editing. Ini adalah pekerjaan "single production" atau "one man show" dimana faktor subjektivitas pembuat video sangat berpengaruh kepada hasil akhir dari cerita yang disajikan. Ada tiga jenis kamera yang dapat digunakan oleh seorang Video Journalist, yaitu:

1. Three Chip Video Camera - video kamera profesional dengan 3 CCD.
2. Handy Camera - biasa dikenal sebagai Video Camcoder, lebih ringan dan simple. 
3. Digital SLR Camera - kamera foto yang dapat merekam gambar video digital,
4. Flip Camera - Kamera poket dengan sistem auto, yang bisa dimasukkan kedalam kantong saku.

Keempat jenis kamera ini mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Semuanya bergantung kepada kebutuhan masing-masing cerita. Kunci utama adalah merekam "Magic Moment" yang tepat, akurat dan faktual, karena disinilah kekuatan dari Videojournalism yang bisa syuting kapan saja, dimana saja....

Tapi ingat, 

Videojournalism is not a reality tv, it's a real story.

Minggu, 06 Januari 2013

Pelatihan Jurnalistik dan Peliputan Berita Profesional di Jakarta

HUbungi kami bagio 082122986927 untuk pendaftaran pelatihan jurnaistik.
Pelatihan jurnalistik untuk televisi ini diasuh oleh para profesional pertelevisian di Indonesia.
Biaya sangat terjangkau.
Anda akan langsung dibimbing praktek
riset liputan
wawancara narasumber
penulisan berita
cara dubbing
dan lainnya